Defisit Keuangan BPJS Kesehatan Tahun 2016
Masalah defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan selama dua tahun lalu dan kemungkinan akan terjadi lagi di tahun 2016 ini terus menjadi ancaman bagi BPJS Kesehatan dalam mengoperasionalkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Direksi BPJS Kesehatan meyakini bahwa terjadinya defisit tersebut disebabkan oleh rendahnya tingkat kepatuhan pembayaran iuran peserta. Memang faktanya selama ini peserta JKN tidak disiplin membayar iuran JKN. Data per 31 Desember 2015 tercatat Piutang iuran JKN sebesar Rp. 2,39 Triliun, dan di akhir Juni 2016 ini Piutang iuran ini mengalami kenaikan menjadiRp. 3.53 triliun.
Adapun pihak-pihak yang menunggak iuran JKN tersebut adalah Pemerintah Daerah (Pemda) untuk iuran PNS-nya sebesar Rp. 649,96 Milyar, Pemda untuk iuran Jamkesda sebesar Rp. 307,69 Milyar, Peserta Bukan Penerima Upah sebesar Rp. 1.95 Triliun, dan Badan Usaha (untuk Peserta Penerima Upah/PPU) sebesar Rp. 534.64 Milyar. Ada potensi iuran yang belum tertagih sampai saat ini dari iuran JPK (Jaminan Pelayanan Kesehatan) eks Jamsostek 2013 lalu sebesar Rp. 83,72 Milyar. Jadi total Potensi Iuran yang belum tertagih hingga akhir Juni 2016 adalah sebesar Rp. 3.53 Triliun. Tentunya nilai Piutang Iuran ini sangat besar, dan sangat berpotensi bisa mengurangi defisit yang terjadi bila BPJS Kesehatan mampu untuk menagihnya.
Besarnya nilai piutang iuran ini tentunya menandakan rendahnya tingkat kedisiplinan peserta, dan hal ini juga bisa diartikan sebagai kegagalan BPJS Kesehatan menagih piutang iuran ini.
Mengapa gagal? Ya karena piutang iuran tersebut sudah lama terjadi dan sepertinya tidak ada upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan. Untuk Pemda yang tidak bayar iuran, seharusnya BPJS Kesehatan bisa bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Bila perlu alokasi DAU/DAK untuk Pemda tersebut dipotong untuk bayar tunggakan iuran BPJS Kesehatan. Untuk Badan Usaha yang tidak bayar atau telat bayar seharusnya BPJS Kesehatan bisa memaksimalkan peran Pengawas/Pemeriksa dengan memberikan sanksi administrasi menggunkan PP No. 86 tahun 2013 sampai menggunakan sanksi pidana yang diatur di Pasal 55 UU No. 24 Tahun 2011 ttg BPJS. Terkait dengan ketidakdisplinan PBPU dan BP membayar iuran yang memang jumlahnya sangat besar yaitu 5.854.235 orang, BPJS Kesehatan bisa membuat system kolekting iuran dengan menggandeng lembaga seperti PLN atau Telkom. Pembayaran listrik atau telpon menjadi satu kesatuan dengan iuran BPJS Kesehatan. Bisa juga BPJS Kesehatan menggunakan infrastruktur RT/RW dalam membantu menagih iuran kepada peserta PBPU yang tidak bayar. Penagihan iuran door to door bisa dicoba oleh BPJS Kesehatan. Terkait iuran JPK eks Jamsostek 2013 lalu yang belum dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp. 83,72 Milyar, sebaiknya Direksi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan duduk bersama lagi untuk memastikan posisi iuran tersebut. Hendaknya BPJS Ketenagakerjaan membayarkan kekurangan iuran tersebut ke BPJS Kesehatan.
Saat ini sudah ada Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No. 16 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penagihan dan Pembayaran Iuran JKN untuk peserta kategori PBPU dan Bukan Pekerja (BP), yang mulai berlaku 1 September 2016. Rendahnya tingkat kedisiplinan PBPU membayar iuran coba diatasi dengan dikeluarkannya regulasi ini. Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Bapak Bayu Wahyudi meyakini Peraturan ini akan mendorong peserta mandiri tertib membayar iuran.
Saya mengapresiasi adanya peraturan baru ini sebagai upaya meningkatkan kedisiplinan PBPU dan BP membayar iuran. Peraturan ini memastikan pembayaran iuran dilakukan secara kolektif untuk satu keluarga melalui satu virtual account (VA), bisa milik ayah, ibu atau anak. Namun ketentuan baru ini, menurut saya, tidak bisa sepenuhnya menjamin peningkatan pendisiplinan pembayaran iuran oleh PBPU. Sebaliknya aturan ini malah bisa mendorong pembayaran iuran PBPU semakin menurun, karena dengan pooling iuran di satu VA maka peserta PBPU harus membayar untuk seluruh anggota keluarganya. Bila uangnya tidak cukup maka satu keluarga pasti tidak bisa dibayar. Selain itu, system baru denda sesuai Perpres no. 19 tahun 2016 yang meniadakan denda sebesar 2 persen juga bisa memicu ketidakdisiplinan peserta PBPU membayar iuran.
Pelaksanaa regulasi baru ini ternyata menimbulkan kebingungan bagi peserta ketika ingin membayar iuran di bulan September ini. BPJS Kesehatan tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum memberlakukan ketentuan ini. Banyak PBPU kaget karena tagihannya membengkak dari iuran sebelumnya. Kami dari BPJS Watch menerima banyak laporan dari masyarakat, namun setelah dijelaskan maka peserta tsb mengerti. Bahwa pembayaran iuran dipooling di satu VA. Kurangnya sosialisasi ini juga terjadi pada ketentuan system baru tentang denda yang diatur oleh Perpes no. 19/2016 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2016 lalu. Kami menilai BPJS Kesehatan justru melakukan sosialisasi setelah ketentuan-ketentuan tsb berlaku. BPJS Watch mendorong agar BPJS Kesehatan melakukan sosialisasi suatu ketentuan sebelum mengoperasionalkan ketentuan tsb sehingga ketika ketentuan tsb berlaku masyarakat tidak bingung.
Tentunya upaya mendisiplinkan PBPU membayar iuran adalah hal yang sangat baik, namun untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan tidak akan selesai dengan hanya mendisiplinkan PBPU saja. BPJS Kesehatan harus mendisiplinkan juga peserta lainnya yaitu Pemda-pemda dan Badan Usaha. Selain pendisiplinan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan juga seharusnya bisa meningkatkan jumlah kepesertaan dari sektor badan usaha yaitu Peserta Penerima Upah (PPU).
Hingga 30 Juni 2016, peserta PPU Badan Usaha (termasuk BUMN) baru mencapai 15.971.721 orang, masih jauh dari target RKAT per 30 Juni 2016 yang mencantumkan kepesertaan sebanyak 23.317.459. Jumlah kepesertaan PPU sebanyak 15.971.721 orang tersebut sudah termasuk kelurga. Jadi bila dirata-rata satu keluarga terdiri dari 3 orang maka sebenarnya PPU yang membayar iuran hanya sekitar 5 sampai 6 juta peserta saja. Ini artinya tingkat kepesertaan PPU badan usaha (termasuk BUMN) masih sangat rendah. Total pekerja formal saat ini bisa mencapai 35 juta orang. Seharusnya BPJS Kesehatan mematuhi Perpes no. 111/2013 yang mewajibkan seluruh pekerja badan usaha termasuk BUMN menjadi PPU di BPJS Kesehatan paling lambat 1 Januari 2015 dengan memaksimalkan penegakkan hukum.
BPJS Watch menilai Direksi BPJS Kesehatan (Direksi yang lama maupun yang baru) belum serius meningkatkan kepesertaan dari sektor badan usaha termasuk BUMN. Penegakkan hukum tidak berjalan sehingga kepesertaan PPU di BPJS Kesehatan masih sangat rendah.
Rendahnya kepesertaan PPU, salah satunya, dikontribusi oleh ketidakmauan pengusaha mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Kesehatan sebagai PPU tetapi malah mendorong pekerjanya mendaftarkan diri sebagai peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang dibiayai Negara. BPJS Watch mendapat informasi ada sekitar 20 ribu pekerja PT. Djarum di Kudus dan ribuan karyawan PT. Sritex di Surakarta yang didaftarkan sebagai PBI, bukan sebagai PPU. Fakta ini sudah diketahui oleh Direksi BPJS Kesehatan namun dibiarkan. Masalah ini sudah menjadi perdebatan di internal BPJS Kesehatan.
Tindakan PT. Djarum dan PT. Sritex yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Kesehatan sebagai PPU merupakan tindakan yang terindikasi kuat sebagai tindakan korupsi secara bersama-sama antara PT. Djarum, PT. Sritex dan BPJS Kesehatan. Uang negara yang seharusnya untuk membiayai iuran bagi rakyat miskin telah digunakan untuk membayar iuran pekerja PT. Djarum dan PT. Sritex. Masih banyak rakyat miskin yang belum bisa menjadi peserta PBI karena keterbatasan quota, tetapi malah pekerja formal yang menggunakannya. Ini sebuah bentuk ketidakadilan bagi rakyat kercil. Tentunya dengan kepesertaan PBI ini maka PT. Djarum dan PT. Sritex mendapat keuntungan, yaitu dengan tidak mengeluarkan biaya iuran sebesar 4 persen. Pengawas Ketenagakerjaan juga gagal mengawasi praktek curang seperti ini.
Kami meminta KPK untuk memanggil Direksi PT. Djarum, PT. Sritex dan Direksi BPJS kesehatan atas masalah ini. KPK harus melakukan penyidikan atas kasus yang terindikasi sebagai tindakan korupsi, dan mengambil tindakan hukum.
Atas permasalahan tingkat kepesertaan PPU yang masih rendah ini seharusnya menjadi bahan evaluasi dan penilaian bagi Presiden terhadap kinerja direksi BPJS Kesehtan. Saya meyakini prinsip kegotongroyongan akan berjalan dengan baik bila kepesertaan lebih dimaksimalkan.
Pinang Ranti, 16 September 2016
Tabik,
Timboel Siregar
Penulis adalah koordinator BPJS Watch
Adapun pihak-pihak yang menunggak iuran JKN tersebut adalah Pemerintah Daerah (Pemda) untuk iuran PNS-nya sebesar Rp. 649,96 Milyar, Pemda untuk iuran Jamkesda sebesar Rp. 307,69 Milyar, Peserta Bukan Penerima Upah sebesar Rp. 1.95 Triliun, dan Badan Usaha (untuk Peserta Penerima Upah/PPU) sebesar Rp. 534.64 Milyar. Ada potensi iuran yang belum tertagih sampai saat ini dari iuran JPK (Jaminan Pelayanan Kesehatan) eks Jamsostek 2013 lalu sebesar Rp. 83,72 Milyar. Jadi total Potensi Iuran yang belum tertagih hingga akhir Juni 2016 adalah sebesar Rp. 3.53 Triliun. Tentunya nilai Piutang Iuran ini sangat besar, dan sangat berpotensi bisa mengurangi defisit yang terjadi bila BPJS Kesehatan mampu untuk menagihnya.
Besarnya nilai piutang iuran ini tentunya menandakan rendahnya tingkat kedisiplinan peserta, dan hal ini juga bisa diartikan sebagai kegagalan BPJS Kesehatan menagih piutang iuran ini.
Mengapa gagal? Ya karena piutang iuran tersebut sudah lama terjadi dan sepertinya tidak ada upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan. Untuk Pemda yang tidak bayar iuran, seharusnya BPJS Kesehatan bisa bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Bila perlu alokasi DAU/DAK untuk Pemda tersebut dipotong untuk bayar tunggakan iuran BPJS Kesehatan. Untuk Badan Usaha yang tidak bayar atau telat bayar seharusnya BPJS Kesehatan bisa memaksimalkan peran Pengawas/Pemeriksa dengan memberikan sanksi administrasi menggunkan PP No. 86 tahun 2013 sampai menggunakan sanksi pidana yang diatur di Pasal 55 UU No. 24 Tahun 2011 ttg BPJS. Terkait dengan ketidakdisplinan PBPU dan BP membayar iuran yang memang jumlahnya sangat besar yaitu 5.854.235 orang, BPJS Kesehatan bisa membuat system kolekting iuran dengan menggandeng lembaga seperti PLN atau Telkom. Pembayaran listrik atau telpon menjadi satu kesatuan dengan iuran BPJS Kesehatan. Bisa juga BPJS Kesehatan menggunakan infrastruktur RT/RW dalam membantu menagih iuran kepada peserta PBPU yang tidak bayar. Penagihan iuran door to door bisa dicoba oleh BPJS Kesehatan. Terkait iuran JPK eks Jamsostek 2013 lalu yang belum dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp. 83,72 Milyar, sebaiknya Direksi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan duduk bersama lagi untuk memastikan posisi iuran tersebut. Hendaknya BPJS Ketenagakerjaan membayarkan kekurangan iuran tersebut ke BPJS Kesehatan.
Saat ini sudah ada Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No. 16 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penagihan dan Pembayaran Iuran JKN untuk peserta kategori PBPU dan Bukan Pekerja (BP), yang mulai berlaku 1 September 2016. Rendahnya tingkat kedisiplinan PBPU membayar iuran coba diatasi dengan dikeluarkannya regulasi ini. Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Bapak Bayu Wahyudi meyakini Peraturan ini akan mendorong peserta mandiri tertib membayar iuran.
Saya mengapresiasi adanya peraturan baru ini sebagai upaya meningkatkan kedisiplinan PBPU dan BP membayar iuran. Peraturan ini memastikan pembayaran iuran dilakukan secara kolektif untuk satu keluarga melalui satu virtual account (VA), bisa milik ayah, ibu atau anak. Namun ketentuan baru ini, menurut saya, tidak bisa sepenuhnya menjamin peningkatan pendisiplinan pembayaran iuran oleh PBPU. Sebaliknya aturan ini malah bisa mendorong pembayaran iuran PBPU semakin menurun, karena dengan pooling iuran di satu VA maka peserta PBPU harus membayar untuk seluruh anggota keluarganya. Bila uangnya tidak cukup maka satu keluarga pasti tidak bisa dibayar. Selain itu, system baru denda sesuai Perpres no. 19 tahun 2016 yang meniadakan denda sebesar 2 persen juga bisa memicu ketidakdisiplinan peserta PBPU membayar iuran.
Defisit Keuangan BPJS Kesehatan 2016 oleh Timbul Siregar. |
Pelaksanaa regulasi baru ini ternyata menimbulkan kebingungan bagi peserta ketika ingin membayar iuran di bulan September ini. BPJS Kesehatan tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum memberlakukan ketentuan ini. Banyak PBPU kaget karena tagihannya membengkak dari iuran sebelumnya. Kami dari BPJS Watch menerima banyak laporan dari masyarakat, namun setelah dijelaskan maka peserta tsb mengerti. Bahwa pembayaran iuran dipooling di satu VA. Kurangnya sosialisasi ini juga terjadi pada ketentuan system baru tentang denda yang diatur oleh Perpes no. 19/2016 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2016 lalu. Kami menilai BPJS Kesehatan justru melakukan sosialisasi setelah ketentuan-ketentuan tsb berlaku. BPJS Watch mendorong agar BPJS Kesehatan melakukan sosialisasi suatu ketentuan sebelum mengoperasionalkan ketentuan tsb sehingga ketika ketentuan tsb berlaku masyarakat tidak bingung.
Tentunya upaya mendisiplinkan PBPU membayar iuran adalah hal yang sangat baik, namun untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan tidak akan selesai dengan hanya mendisiplinkan PBPU saja. BPJS Kesehatan harus mendisiplinkan juga peserta lainnya yaitu Pemda-pemda dan Badan Usaha. Selain pendisiplinan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan juga seharusnya bisa meningkatkan jumlah kepesertaan dari sektor badan usaha yaitu Peserta Penerima Upah (PPU).
Hingga 30 Juni 2016, peserta PPU Badan Usaha (termasuk BUMN) baru mencapai 15.971.721 orang, masih jauh dari target RKAT per 30 Juni 2016 yang mencantumkan kepesertaan sebanyak 23.317.459. Jumlah kepesertaan PPU sebanyak 15.971.721 orang tersebut sudah termasuk kelurga. Jadi bila dirata-rata satu keluarga terdiri dari 3 orang maka sebenarnya PPU yang membayar iuran hanya sekitar 5 sampai 6 juta peserta saja. Ini artinya tingkat kepesertaan PPU badan usaha (termasuk BUMN) masih sangat rendah. Total pekerja formal saat ini bisa mencapai 35 juta orang. Seharusnya BPJS Kesehatan mematuhi Perpes no. 111/2013 yang mewajibkan seluruh pekerja badan usaha termasuk BUMN menjadi PPU di BPJS Kesehatan paling lambat 1 Januari 2015 dengan memaksimalkan penegakkan hukum.
BPJS Watch menilai Direksi BPJS Kesehatan (Direksi yang lama maupun yang baru) belum serius meningkatkan kepesertaan dari sektor badan usaha termasuk BUMN. Penegakkan hukum tidak berjalan sehingga kepesertaan PPU di BPJS Kesehatan masih sangat rendah.
Rendahnya kepesertaan PPU, salah satunya, dikontribusi oleh ketidakmauan pengusaha mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Kesehatan sebagai PPU tetapi malah mendorong pekerjanya mendaftarkan diri sebagai peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang dibiayai Negara. BPJS Watch mendapat informasi ada sekitar 20 ribu pekerja PT. Djarum di Kudus dan ribuan karyawan PT. Sritex di Surakarta yang didaftarkan sebagai PBI, bukan sebagai PPU. Fakta ini sudah diketahui oleh Direksi BPJS Kesehatan namun dibiarkan. Masalah ini sudah menjadi perdebatan di internal BPJS Kesehatan.
Tindakan PT. Djarum dan PT. Sritex yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Kesehatan sebagai PPU merupakan tindakan yang terindikasi kuat sebagai tindakan korupsi secara bersama-sama antara PT. Djarum, PT. Sritex dan BPJS Kesehatan. Uang negara yang seharusnya untuk membiayai iuran bagi rakyat miskin telah digunakan untuk membayar iuran pekerja PT. Djarum dan PT. Sritex. Masih banyak rakyat miskin yang belum bisa menjadi peserta PBI karena keterbatasan quota, tetapi malah pekerja formal yang menggunakannya. Ini sebuah bentuk ketidakadilan bagi rakyat kercil. Tentunya dengan kepesertaan PBI ini maka PT. Djarum dan PT. Sritex mendapat keuntungan, yaitu dengan tidak mengeluarkan biaya iuran sebesar 4 persen. Pengawas Ketenagakerjaan juga gagal mengawasi praktek curang seperti ini.
Kami meminta KPK untuk memanggil Direksi PT. Djarum, PT. Sritex dan Direksi BPJS kesehatan atas masalah ini. KPK harus melakukan penyidikan atas kasus yang terindikasi sebagai tindakan korupsi, dan mengambil tindakan hukum.
Atas permasalahan tingkat kepesertaan PPU yang masih rendah ini seharusnya menjadi bahan evaluasi dan penilaian bagi Presiden terhadap kinerja direksi BPJS Kesehtan. Saya meyakini prinsip kegotongroyongan akan berjalan dengan baik bila kepesertaan lebih dimaksimalkan.
Pinang Ranti, 16 September 2016
Tabik,
Timboel Siregar
Penulis adalah koordinator BPJS Watch