Klarifikasi BPJS Kesehatan Tentang Aturan Pembayaran Baru Yang Beredar di Masyarakat
Sejak kemarin sore, banyak yang bertanya tentang sebaran di medsos berikut ini. Barangkali maksud penyusun sebaran itu baik, hanya kurang pas dalam mengemasnya. Kemudian ada semacam tanggapan atau koreksi dari BPJS Kesehatan (Lihat gambar di bawah).
Ada beberapa hal yang perlu dibahas.
Dalam Perpres 19/2016, tidak ada lagi denda 2% untuk tiap bulan tunggakan. Bila seseorang menunggak lebih dari 1 bulan, maka kepesertaannya menjadi non aktif. Untkuk mengaktifkannya, peserta harus melunasi tunggakan TANPA DENDA. Masa tunggakan ini dibatasi paling lama 12 bulan.
DENDA baru timbul bila seseorang peserta mendapatkan pelayanan rawat inap dalam 45 hari setelah dia melunasi tunggakannya. Besaran denda adalah 2,5% x jumlah bulan tunggakan x klaim rawat inap yang dijalaninya. Jumlah bulan tunggakan dibatasi maksimal 12 bulan. Jumlah denda maksimal dibatasi 30 juta rupiah.
Pesan penting dari peraturan ini adalah rutinlah membayar sesuai ketentuan walau tidak memerlukan pelayanan kesehatan. Jangan membiasakan diri membayar hanya saat memerlukan pelayanan kesehatan.
Kalau tidak membayar karena memang tidak mampu? Ada jalur menjadi peserta PBI. Ketentuannya sudah ada dari Kemensos. Verifikasi dan validasi dapat dilakukan tiap saat, tidak harus menunggu setiap 6 bulan (PP 76/2015).
Kalau dia sudah menunggak sebelum menjadi PBI? Kalau sudah dinyatakan sebagai PBI, maka TIDAK ADA beban tunggakan dan TIDAK ADA DENDA walau harus mendapatkan pelayanan rawat inap (Pasal 17A.1 Perpres 19/2016). Ada mekanisme penghapusan piutang negara terhadap kasus seperti ini, sehingga tunggakan maupun denda yang timbu, dihapuskan.
Yang menjadi titik kritik dari Asosiasi Faskes adalah mekanisme pengenaan denda sebagai perwujudan Perpres 19/2016 tersebut yang diatur dalam Per BPJSK 2/2016. Dalam bunyi eksplisitnya, cenderung menempatkan beban kepada RS yang berisiko menghambat pelayanan kepada pasien. Secara lisan, sudah ada perbaikan mekanisme tersebut oleh BPJS Kesehatan. Tetapi dokumen regulasi tertulis tentang perbaikan tersebut, belum kami dapatkan.
Persoalan berikutnya tentang cara pembayaran satu KK satu VA. Filosofi aturan ini sebenarnya memang sudah ada sejak di UU SJSN 40/2004 bahwa JKN memang bertujuan memberi manfaat bagi peserta dan keluarganya. Maka kewajiban mendaftarkan memang melekat pada diri sendiri dan keluarganya. Dengan demikian memang seharusnya beban iuran adalah untuk diri sendiri dan keluarganya.
Bagaimana kalau beban itu menjadi terlalu berat kalau harus membayar satu KK? Kembali, berarti yang bersangkutan masuk klasifikasi PBI dan mengikuti alur ketentuan PP 76/2015. Tunggakan dan denda hapus begitu dinyatakan sebagai PBI.
Yang kita kritik terhadap kebijakan itu adalah soal sosialisasinya yang terlambat. Per Dir 16/2016 sudah terbit sejak 12 Juli 2016. Dengan sosialisasi lebih dini, simpang siurnya dapat diminimalkan.
Selengkapnya di tulisan sebelumnya:
Satu pelajaran berharga dari viral ini sekali lagi, lebih "cantik" mengelola sosialisasi bagi BPJS Kesehatan, dan lebih "cermat" mengikuti sebaran informasi bagi pengakses media sosial.
#SalamKawalJKN {daisadur dari FB dr. Tonang DA}
Ada beberapa hal yang perlu dibahas.
# Sistem Pembayaran Baru
Pertama tentang denda. Secara esensi, aturan tentang pengenaan denda terhadap tunggakan mengalami perubahan setelah terbit Perpres 19/2016. Semula, ada aturan pengenaan denda sebesar 2% terhadap iuran setial bulan tunggakan (tidak berlaku denda progresif), maksimal sampai 6 bulan. Bila menunggak, maka kepesertaan non aktif setelah 3 bulan (PPU) dan 6 bulan (kelompok mandiri). Aturan ini waktu itu dikritik, bahkan ada yang mempersoalkan soal halal-haramnya.Dalam Perpres 19/2016, tidak ada lagi denda 2% untuk tiap bulan tunggakan. Bila seseorang menunggak lebih dari 1 bulan, maka kepesertaannya menjadi non aktif. Untkuk mengaktifkannya, peserta harus melunasi tunggakan TANPA DENDA. Masa tunggakan ini dibatasi paling lama 12 bulan.
DENDA baru timbul bila seseorang peserta mendapatkan pelayanan rawat inap dalam 45 hari setelah dia melunasi tunggakannya. Besaran denda adalah 2,5% x jumlah bulan tunggakan x klaim rawat inap yang dijalaninya. Jumlah bulan tunggakan dibatasi maksimal 12 bulan. Jumlah denda maksimal dibatasi 30 juta rupiah.
Pesan penting dari peraturan ini adalah rutinlah membayar sesuai ketentuan walau tidak memerlukan pelayanan kesehatan. Jangan membiasakan diri membayar hanya saat memerlukan pelayanan kesehatan.
Kalau tidak membayar karena memang tidak mampu? Ada jalur menjadi peserta PBI. Ketentuannya sudah ada dari Kemensos. Verifikasi dan validasi dapat dilakukan tiap saat, tidak harus menunggu setiap 6 bulan (PP 76/2015).
Kalau dia sudah menunggak sebelum menjadi PBI? Kalau sudah dinyatakan sebagai PBI, maka TIDAK ADA beban tunggakan dan TIDAK ADA DENDA walau harus mendapatkan pelayanan rawat inap (Pasal 17A.1 Perpres 19/2016). Ada mekanisme penghapusan piutang negara terhadap kasus seperti ini, sehingga tunggakan maupun denda yang timbu, dihapuskan.
Yang menjadi titik kritik dari Asosiasi Faskes adalah mekanisme pengenaan denda sebagai perwujudan Perpres 19/2016 tersebut yang diatur dalam Per BPJSK 2/2016. Dalam bunyi eksplisitnya, cenderung menempatkan beban kepada RS yang berisiko menghambat pelayanan kepada pasien. Secara lisan, sudah ada perbaikan mekanisme tersebut oleh BPJS Kesehatan. Tetapi dokumen regulasi tertulis tentang perbaikan tersebut, belum kami dapatkan.
Persoalan berikutnya tentang cara pembayaran satu KK satu VA. Filosofi aturan ini sebenarnya memang sudah ada sejak di UU SJSN 40/2004 bahwa JKN memang bertujuan memberi manfaat bagi peserta dan keluarganya. Maka kewajiban mendaftarkan memang melekat pada diri sendiri dan keluarganya. Dengan demikian memang seharusnya beban iuran adalah untuk diri sendiri dan keluarganya.
Bagaimana kalau beban itu menjadi terlalu berat kalau harus membayar satu KK? Kembali, berarti yang bersangkutan masuk klasifikasi PBI dan mengikuti alur ketentuan PP 76/2015. Tunggakan dan denda hapus begitu dinyatakan sebagai PBI.
Yang kita kritik terhadap kebijakan itu adalah soal sosialisasinya yang terlambat. Per Dir 16/2016 sudah terbit sejak 12 Juli 2016. Dengan sosialisasi lebih dini, simpang siurnya dapat diminimalkan.
Selengkapnya di tulisan sebelumnya:
# Sanksi Administratif Jika Tidak Ikut Jaminan Sosial Dari BPJS
Hal ketiga tentang ketentuan dalam PP 86/2013. Memang ada beberapa sanksi baik administratif terkait layanan publik, dalam hal tidak terpenuhinya ketentuan wajib menjadi peserta JKN. Dalam PP tersebut, pihak BPJSK pada posisi memberikan peringatan, tetapi sanksi terkait layanan publik, menjadi kewenangan instansi terkait.Satu pelajaran berharga dari viral ini sekali lagi, lebih "cantik" mengelola sosialisasi bagi BPJS Kesehatan, dan lebih "cermat" mengikuti sebaran informasi bagi pengakses media sosial.
#SalamKawalJKN {daisadur dari FB dr. Tonang DA}